Selasa, 16 Februari 2016

Ustadz Muin, Seorang Dai Keturunan Pangeran Diponegoro

Saat perpisahan dengan santri-santri As Sallam Surakarta

Ustadz Mu’in, demikian ia kerap disapa. Sosok yang memiliki nama lengkap Muhammad Mu’inudinillah Basri ini adalah salah satu tokoh penggerak dakwah di Surakarta dan sekitarnya. Ia lahir di Sukoharjo pada 15 Juni 1966. Sejak kecil ia telah memiliki semangat belajar agama yang tinggi. Kondisi kekurangan yang menimpa keluarganya tidak menjadikan dirinya patah arang dalam menggapai keberhasilan. Ayahnya, Mohammad Basri, meninggal dunia ketika ia masih di bangku kelas satu Tsanawiyah. Kehidupan keluarganya yang pas-pasan justru melecut Ustadz Mu’in kecil untuk bergiat meraup ilmu.
Tapi, Ustadz Mu’in juga beruntung. Adanya sejumlah ulama dengan keislaman kuat dalam jalur silsilahnya turut membentuk motivasinya untuk mendalami Islam. Ia adalah keturunan KH. Imam Rozi, pendiri pesantren Singo Manjat, Tempursari, Klaten. Kiai Imam Rozi adalah putra Kiai Maryani bin Kiai Ageng Kenongo. Saat mencapai usia 24 tahun, Imam Rozi bergabung dengan Pangeran Diponegoro menentang penjajah Belanda, bersama Kiai Mojo dan para pejuang lainnya. Bahkan, dia akhirnya menikah dengan RA Sumirah, saudara sepersusuan Pangeran Diponegoro. Ia diangkat sebagai manggala yudha atau panglima perang dan sebagai penghubung antara Pangeran Diponegoro dan Paku Buwono VI Surakarta. Kyai Rozi memiliki 4 orang istri. Dari jalur ulama inilah silsilah Ustadz Mu’in terhubung sebagai salah satu keturunannya.
Pendidikan yang ditempuh Ustadz Mu’in turut membentuk kecintaan dan pemahamannya terhadap agama. Pendidikan setingkat sekolah dasarnya ditempuh di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah (MIM) Pucangan, Kartasura, lulus tahun 1977. Lulus SLTP, ia melanjutkan SLTA-nya di Pendidikan Guru Agama (PGA) Muhammadiyah di Surakarta.
Ustadz Muin saat mengisi kutbah Jumat di Masjid al Irsyad

Di jalur non formal, Ustadz Mu’in bersemangat untuk mencari ilmu di luar bangku sekolah. Mulazamah adalah salah satu kegiatan favoritnya sejak kecil. Salah satu gurunya tempat “ngaji kitab” adalah Kiai Abdul Hamid, seorang lulusan Mambaul Ulum, Surakarta. Dari sang guru, Ustadz Mu’in muda menyelesaikan “ngaji sorongan” kitab tafsir Al Munir al-Bantani dan Fiqhus Sunnah karya Sayyid Sabiq.
Lulus pendidikan guru agama, Ustadz Mu’in berkeinginan kuat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Tapi, ia terbentur biaya. Jalan mulai terbuka saat ia diterima kuliah di Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA). Di tempat inilah, Ustadz Mu’in membuktikan keseriusan belajarnya. Sejak semester pertama hingga akhir, ia selalu mendapat ‘ranking’ pertama. “Di LIPIA, saya berkesempatan melakukan telaah dan diskusi keilmuan yang serius,” ujarnya.Dunia pergerakan juga digelutinya. Beberapa buku karya Said Hawwa tercatat menjadi salah satu bacaan yang dikajinya. Beliau juga dekat dengan sejumlah pengajar, antara lain Ustadz Abdullah al-‘Aidan, Syaikh Yasin al Khatib dari Baghdad, dan Syaikh Muhammad Manna’ Al Qarniy.
Lulus LIPIA tahun 1990, ia sempat mengajar di Ma’had Al Hikmah, Jakarta. Saat itulah, peluang melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi terbuka lebar. Lulusan LIPIA yang mendapatkan peringkat pertama hingga kelima diberi kesempatan studi dengan beasiswa ke Arab Saudi.
 Studi magister dan doktornya diselesaikan di Jamiah Al Imam, Islamic University Riyadh.
Selama menempuh pendidikan di Arab Saudi, Ustadz Mu’in memiliki banyak pengalaman menarik. Ia terlibat dalam pengembangan dakwah terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Timur Tengah. Sebuah Ma’had didirikan untuk menjembatani kepentingan ini. Ustadz Mu’in mengaku memanfaatkan kesempatannya dengan aktivitas dakwah. Berbagai kesempatan mengisi kajian dimanfaatkannya. Aktivitas penerjemahan buku dan pengajaran tahfidz Al-Qur’an juga pernah dilakoninya.
Di Arab Saudi, Ustadz Mu’in berjumpa dengan kawan-kawan yang terdiri dari para mahasiswa dari berbagai negara. Tukar pengalaman di antara mereka turut memperkaya khazanah pemahaman akan situasi dan kondisi dakwah dari berbagai negara. Ia juga bertemu dengan sejumlah aktivis harakah Islam dari Mesir, Bosnia Herzegovina, dan lain-lainnya. Pertemuan dengan kawan-kawan dari sejumlah harakah dari berbagai negara ini merupakan salah satu pengalaman dalam membangun persaudaraan yang cukup mengesankan.
Tentu saja, pengalaman berharga lainnya adalah belajar agama secara langsung pada sejumlah masyayikh. Ia pernah belajar ilmu melalui mulazamah bersama Syaikh Utsaimin dan Syakih Bin Baz. Pengalaman-pengalaman inilah yang kemudian menjadi cukup berbekas dan sebagian diupayakan untuk diterapkan saat kembali ke Tanah Air. Kini, hari-hari sang Ustadz diisi dengan seabrek aktivitas dakwah dan pendidikan. Beliau menjadi direktur Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an (PPTQ) Ibnu Abbas, di Klaten, Jawa Tengah,. Sejumlah artikel maupun buku telah dihasilkannya.
 Beberapa contoh bukunya : Dzikir dan Do’a, Indahnya Tawakkal, dan Indahnya Kematian.
Tentang kondisi pemikiran kini, Ustadz Mu’in mengajak umat Islam untuk tidak mudah silau dengan pemikiran keliru, yang sebenarnya “paham lama”, tapi diberi kemasan baru. “Seseorang bisa terjerembab dalam pemahaman menyimpang karena dua sebab,. Pertama karena tidak memiliki pemikiran genuine yang berlandaskan pada pemahaman agama yang baik. Kedua, tidak memiliki pemahaman menyeluruh tentang kebatilan dan kejahiliyahan,” ujarnya.
Sumber : website PPTQ Ibnu Abbas Klaten

Tidak ada komentar:

Posting Komentar