Selasa, 16 Februari 2016

Dialog tentang Politik, Kekuasaan & Islam dengan Ustad Muinuddinillah Bisri


Sejatinya, peran partai politik Islam dalam penegakkan syariat di Indonesia masih efektif. Begitulah keyakinan Mu’inudinillah Basri, seorang ahli syariah lulusan Universitas King Ibnu Saud, Arab Saudi.
Lalu mengapa peran partai politik Islam saat ini masih mandul? Menurut Mu’in, sapaan akrab Mu’inudinillah Basri, ini terjadi karena sistem kita sudah terlanjur busuk.
Selain itu, katanya lagi, tak sedikit aktifis Islam yang terpengaruh oleh kepentingan politik sesaat. ”Ini akan naif.” kata Ketua Program Pascasarjana Magister Studi Islam, Universitas Muhammadiyah Surakarta, ini.
Mu’in bisa berpendapat seperti itu karena sesungguhnya ia orang partai meski tak secara langsung mencemplungkan diri dalam kancah politik praktis. Ia salah seorang anggota Dewan Syariah Pusat (DSP) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang bertugas mengontrol program yang dijalankan partai.
Selama ini Mu’in telah mengambil sikap sebagai orang yang bergerak hanya di ranah “politik moral”. Artinya, keterlibatannya dalam partai cuma sebagai dai dan pembimbing syariah. “Saya ini dai, terbuka untuk seluruh partai. Partai mana saja yang ingin bimbingan syariah, akan saya bantu,” tegas pria asal Solo dan alumni LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab), Jakarta, ini.
Mu’in pernah menawarkan bantuan kepada Partai Bulan Bintang (PBB) untuk pembinaan syariah. Ia juga pernah menawarkan hal yang sama kepada pengurus Partai Amanah Nasional (PAN). Ia tak menolak memberikan masukan kepada Hizbut Tahrir atau Hidayatullah sebagai sebuah harakah.
Mu’in juga membina kader. Namun, bukan semata untuk kepentingan partai atau harakah, melainkan untuk mencetak para dai yang mumpuni. Ia sadar, tujuan pembinaan kader tak boleh bersandar kepada tujuan yang sempit, namun demi sesuatu yang besar, yakni tegaknya dakwah Islam di bumi Pertiwi.
Kepada wartawan Suara Hidayatullah, Bahrul Ulum dan Khoirul Ahmad, mantan Direktur Pesantren As-Salam, Surakarta, ini berbicara banyak tentang hubungan politik praktis dengan tegaknya syariah. Perbincangan dilakukan di rumahnya di Surakarta pada pagi hari dalam suasana santai sambil sarapan pagi.
Seberapa besar efektifitas partai politik dalam penegakan syariat Islam di Indonesia?
Menurut saya cukup efektif. Karena lewat partai, kesempatan menjadi legislatif dan eksekutif cukup terbuka.
Kita harus jujur bahwa munculnya peraturan dan perundangan-undangan berasal dari mereka ini. Kedua jabatan tersebut, baik parlemen maupun pemerintahan, hanya bisa diperoleh melalui partai politik. Masing-masing partai politik membawa idiologi. Sementara semua undang-undang merupakan produk ideologi dari mereka yang duduk di parlemen.
Begitu juga peraturan pemerintah, merupakan produk dari mereka yang duduk di eksekutif. Jadi, baik buruknya undang-undang atau peraturan pemerintah tergantung pada mereka yang duduk di kedua lembaga tersebut (legislatif dan eksekutif). Jika mereka yang duduk di sana orang-orang yang baik, maka produk undang-undang atau peraturannya insya Allah baik pula.
Tapi mengapa hal itu belum tampak sampai sekarang?
Sistem yang ada sudah telanjur seperti itu (buruk). Untuk memperbaikinya jelas butuh waktu dan proses yang lama. Kalaupun para politisi Islam belum mampu mengubah kondisi yang buruk ke kondisi yang lebih baik, itu karena mereka belum punya kemampuan bermanuver politik yang matang. Mereka juga belum mendapat dukungan dari berbagai pihak. Juga belum adanya sinergi dari berbagai komponen yang ada.
Faktanya, banyak yang malah terbawa arus. Mangapa?
Yang seperti itu memang kita akui ada di partai Islam mana saja. Mereka meninggalkan idealismenya karena terpengaruh kepentingan politik praktis sesaat.
Tapi saya katakan, untuk penegakan syariah Islam, politik itu memiliki peran yang besar. Dalam sebuah ungkapan disebutkan bahwa “Allah melakukan perubahan melalui kekuasaan tidak seperti Allah melakukan perubahan melalui al-Qur`an.” Ungkapan ini menunjukkan bahwa kekuasan itu perlu.
Seberapa besar peran kekuasaaan dalam penegakan syariah?
Kita harus jujur, dalam konteks sekarang ini, kekuasaanlah yang memegang kunci dalam sebuah perubahan. Di mana pun di dunia ini, mereka yang berkuasalah yang bisa melakukan perubahan.
Hanya saja, jika yang berkuasa itu orang-orang tidak baik, maka perubahan itu akan mengarah kepada ketidakbaikan. Demikian pula sebaliknya. Jika mereka yang berkuasa adalah para aktifis Islam, perubahan itu akan kita rasakan hasilnya.
Contoh kecil, di beberapa daerah di Indenesia, munculnya Perda (Peraturan Daerah) Syariah tidak lepas dari peran penguasa daerah tersebut, baik dari eksekutif maupun legislatif
Rasulullah sendiri ketika memulai perjuangan tidak lewat kekuasaan. Bagaimana tanggapan Anda?
Awalnya memang tidak, tapi setelah beliau memiliki pengikut yang banyak barulah beliau menggunakan kekuasan untuk melakukan perubahan.
Bagaimana dengan peran komponen umat Islam lain dalam penegakan syariah?
Kita tidak boleh menafikan peran tersebut. Kita harus akui bahwa peran tersebut juga sangat besar. Yang penting ada sinergi antara pihak yang bermain di ranah kekuasaan dan yang tidak.
Mereka yang sekarang sedang bermain di ranah politik dan memiliki kekuasaan seharusnya jangan merasa paling benar dan paling berperanan. Begitu pula sebaliknya. Semua komponen seyogyanya saling melengkapi. Wong kita ini sama-sama ingin menegakkan syariah Islam.
Mereka yang tidak mau bermain di ranah politik punya anggapan bahwa sistem yang ini (demokrasi) berasal dari Barat, bukan dari Islam. Bagaimana tanggapan Anda?
Persoalan ini masih diperdebatkan dan tidak akan pernah ketemu. Mereka yang setuju dan tidak setuju sama-sama punya hujjah. Menurut saya, sudah tidak produktif membicarakan masalah ini lagi. Lebih baik kita berbicara bagaimana syariat ini bisa tegak.
Bagaimana peluang penegakan syariah lewat revolusi?
Menurut saya, sampai sekarang belum terbukti dan belum efektif. Faktanya di dunia Islam belum ada yang berhasil.
Tapi bukankah hal yang sama, lewat partai, juga belum terbukti?
Tapi setidaknya, sudah bisa memberi warna kepada kebijakan yang ada di kekuasaan. Minimal, meski kekuasaan tidak memihak Islam, tapi tidak memusuhi Islam.
Persaoalan memang menyangkut pertentangan antara yang hak dan batil. Lewat usaha apapun pasti akan berhadapan dengan kekuatan yang tidak kecil (Barat). Mereka (Barat) tidak akan pernah rela membiarkan syariat Islam tegak di bumi ini. Tapi kita tidak boleh berhenti memperjuangkannya.
Baru-baru ini, salah satu partai Islam memunculkan wacana menjadi partai terbuka. Bagaimana tanggapan Anda?
Masalah ini sudah saya tanyakan langsung kepada kawan-kawan di partai tersebut (PKS). Ternyata hal itu hanya lontaran dan improvisasi dari sebagian kader yang tidak memahami pesoalan. Mereka tidak akan berani mengubahnya menjadi partai terbuka. Risikonya sangat tinggi, yaitu ditinggal umat. Karena itu jangan sekali-kali berani melakukan hal itu.
Bagaimana dengan wacana calon legislatif dari non-Muslim? Apakah ini bukan bagian dari kebijakan partai yang berlebihan?
Menurut saya, kawan-kawan (dari PKS) tidak akan berani membuat kebijakan yang bisa merugikan partai hanya karena ingin memperoleh yang belum pasti. Artinya, toleransi itu tidak akan sampai mengakui adanya paham pluralisme agama. Ini akan naif.
Profil Singkat Muinuddinillah Bisri
Mu’inudinillah Basri lahir di Surakarta pada 15 Juni 1966. Ayahnya, Mohammad Basri, adalah seorang dai. Ketika Mui’in duduk di bangku kelas satu tsanawiyah, ayahnya meninggal dunia.
“Saudara saya ada 8 orang. Dengan meninggalnya ayah, saya harus membantu ibu mengasuh adik-adik,” kenangnya. Salah satu adiknya adalah DR Setiawan Budi Utomo yang juga ahli dalam bidang syariah.
Mu’in menghabiskan masa sekolahnya, dari SD sampai SLTA, di Surakarta. Lulus sekolah Pendidikan Guru Agama Negeri Solo, Mu’in ingin sekali melanjutkan kuliah. Namun, ia terbentur biaya. Niat itu pun ia tahan.
Dalam kondisi seperti itu, ia mendapat informasi bahwa di Jakarta ada universitas yang gratis dan memberikan beasiswa, yaitu LIPIA. Akhirnya, ia mendaftar dan diterima.
Awalnya, Mu’in diterima di kelas sore. Kelas ini tidak mendapat beasiswa. Karena merasa tidak punya uang, Mu’in terpacu untuk berusaha keras agar bisa masuk kelas pagi. Akhirnya, dengan usaha keras dan doa, ia pun diterima di kelas pagi.
Usahanya untuk belajar sungguh-sungguh tak berhenti sampai di sini. Apalagi ia merasa ilmu agamanya pas-pasan dan banyak tertinggal dengan mahasiswa lain yang telah lebih dulu masuk kelas pagi.
“Setiap kali kuliah saya selalu bertanya, sehingga teman-teman merasa terganggu,” kenangnya.
Usahanya itu tidak sia-sia. Sejak semester pertama sampai akhir, Mu’in selalu mendapat rangking pertama.
Lulus dari LIPIA tahun 1996, ia sempat mengajar di ma’had Al-Hikmah di Jakarta. Tak lama mengajar, ada informasi dari pihak kampus bahwa alumni LIPIA yang mendapat rangking 1 sampai 5 mendapat kesempatan melanjutkan studi S2 ke King Ibnu Saud, Arab Saudi. Sayangnya, sewaktu hendak berangkat, meletus perang Irak-Kuwait. Pemberangkatan pun tertunda.
Setahun kemudian, ia bersama keempat kawannya berangkat dengan beasiswa penuh dari pemerintah Saudi. Studi S2 ini rampung tahun 2002. Setelah itu ayah tujuh putra ini melanjutkan S3 tanpa tes di universitas yang sama.
“Kalau boleh saya lebih senang kuliah terus di Saudi,” seloroh Mu’in. Mengapa? “Karena kuliah di sana digaji, he he he,” guraunya.
Selama di sana, Mu’in banyak belajar dari para masyayik bagaimana membangun tradisi keilmuan. “Para masyayik di Saudi santun-santun dan bijaksana dalam menyikapi perbedaan yang sifatnya furuiyah,” katanya.
Kaum Muslim di Indonesia seharusnya banyak belajar kepada mereka dalam menyikapi perbedaan. “Kalau belum dewasa jangan mencari perbedaan,” terangnya.
Menurut Mu’in, jika dakwah Islam ingin berkembang, hendaknya mengikuti cara berdakwah Rasulullah SAW. “Kita mengajak orang kepada sunnah dengan sunnah,” jelasnya. Artinya, seorang dai harus mengetahui persis kondisi sasaran dakwahnya.
Jika sasarannya orang-orang awam, jangan lantas diberi materi yang berat. Cara berdakwah pun harus santun dan tidak menyesat-nyesatkan mereka,
Berbeda jika menghadapi orang yang memang sengaja mencari-cari sensasi atau membikin onar, maka mereka harus ditegasi. “Contohnya Umar, dia tegas terahadp Shabir yang selalu bertanya dan sengaja membingungkan masyarakat,” kata Mu’in.
Ada buku bagus yang perlu dibaca oleh para dai yang ditulis oleh Syaikh Ruhali dari Madinah. Isi buku itu menasehati para dai agar mengajak masyarakat kepada sunnah dengan cara-cara yang dicontohkan Rasulullah SAW.
Berdasar pertimbangan dalam buku itulah kemudian Mu’in bersama beberapa dai membuat forum yang mereka namakan Fujamas. Dalam forum ini berbagai golongan, partai, ormas Islam, bisa berkumpul bersama-sama memikirkan dakwah Islam.
Pengasuh pesantren Syaik Bin Baz Klaten Jawa Tengah ini sengaja memilih forum ini untuk mewujudkan peran strategis masjid sebagai basis dakwah, pembinaan, dan konsolidasi umat. Lewat forum ini diharapkan upaya-upaya perusakan iman dan akidah bisa diantisipasi.
“Tujuan saya mendirikan forum ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan politik. Saya bukan orang politik,” tegasnya. Apalagi jika dikait-kaitkan dengan keinginan menjadi anggota dewan.
Menurut Mu’in sangat naif jika forum ini disebut-sebut berbau politis. “Forum ini adalah ajang ukhuwah islamiyah di antara berbagai komponen umat islam, tanpa adanya embel-embel kepentingan yang sempit,” tegasnya lagi.
Islam Tak Mungkin Sebabkan Perpecahan
Syariah Islam bisa tegak jika berbagai komponen umat bersinergi. Kaum Muslim, kata Mu’inudinillah Basri, seyogyanya menyibukkan diri dalam masalah-masalah pokok dan meninggalkan hal-hal yang bersifat dhaniyah atau furuiyah.
“Mereka yang masih mempersoalkan qunut itu boleh atau tidak, sama-sama tidak mengerti dalilnya,” terang ahli ushul fiqh ini. Para ulama yang shaleh tidak pernah mempersoalkan masalah itu, karena itu masuk wilayah ijtihadi, bukan pokok.
Para fuqaha dari generasi tabiut tabi’in tidak pernah menjadikan fiqh (ijtihadi) sebagai penyebab pertentangan di antara mereka. Meski mereka berbeda pendapat dalam masalah fiqiyah, namun tidak sampai menimbulkan perpecahan.
Mu’in kemudian menyebut sebuah buku yang ditulis oleh Syaik Toha Jabir berjudul Ikhtilaful Fuqoha yang dinilainya bagus. Dalam buku tersebut dikatakan bahwa telah terjadi perbedaan yang luar biasa tajam di antara fuqaha dalam masalah fiqh. Namun, perbedaan itu tidak menimbulkan perpecahan di antara mereka.
“Ini karena ahlak mereka luar biasa bagus. Ini terbalik dengan kita sekarang,” kata suami Radiyah ini.
Mu’in memberi contoh Imam Syafi’i yang dikenal jago debat. Di setiap perdebatan, pendiri mazhab Syafi’i ini selalu berharap kebenaran itu muncul dari lisan lawan debatnya. Kalau ternyata dalam perdebatan tidak ketemu, Imam Syafi’i langsung merangkul lawannya.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Ibnu Taimiyah. Meski lawan-lawannya pernah mengusulkan kepada penguasa agar darah Ibnu Taimiyah dihalalkan, namun di saat ia dekat dengan kekuasaan dan pihak penguasa meminta fatwanya agar boleh menghabisi lawan-lawannya, dengan tegas Syaikul Islam ini menolaknya. Ibnu Taimiyah berkata, “Jangan ya Amirul, mereka itu adalah orang-orang terbaik yang dimiliki umat,” terang Mu’in.
Bahkan Ibnu Taimiyah sengaja berziarah kepada keluarga salah satu orang yang sangat memusuhinya dan mengatakan kepada anak-anaknya bahwa ia adalah pengganti bapaknya.
Di kalangan ahli-ahli Hadist ada kaidah muttafaq yang berbunyi ‘Jarhu bainal akroni layuktabar’. Artinya, kalau ada dua ulama berdebat tentang satu hal kemudian keduanya saling melemahkan, maka jangan anggap perkataan keduanya. Kaidah itu, menurut Mu’in, sangat tepat untuk menghindari perpecahan umat.
Apakah Anda yakin persatuan umat bisa terjadi padahal Hadits menyebutkan umat ini akan pecah menjadi 73 golongan?
Saya yakin. Bersinerginya berbagai harokah sangat mungkin terjadi. Memang ada Hadits yang mengisyaratkan bahwa umat Islam pecah menjadi 73 golongan. Majmuk hadits ini shahih dan bisa dijadikan sandaran.
Namun, di sisi lain, ada hadits mutawatir yang menjelaskan bahwa ada sekelompok umat yang nanti akan bersatu menegakan kebenaran. Mereka itu terdiri dari orang-orang yang mukhlis. Dan mereka inilah yang mewakili tegaknya dinul Islam. Karena itu, adanya umat Islam yang mukhlis harus kita yakini betul.
Lalu bagaimana menyikapi Hadits di atas?
Adanya perpecahan di kalangan umat jangan dijadikan legimitasi kita ikut di dalamnya. Biarlah mereka berpecah. Jangan dirisaukan. Jangan sampai kita sibuk memikirkan hal itu, tapi berfikirlah bagaimana mencapai persatuan.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Hudaifah disebutkan, kalau di tubuh umat Islam tidak ada imam dan jamaah, maka akan terjadi firkah-firkah dan kita disuruh meninggalkannya.
Mereka yang meninggalkan firkah ini kemudian bersatu kembali. Bersatunya orang-orang yang sama-sama ikhlas dan mau bersinergi demi kemenangan Islam itu harus kita yakini kebenarannya.
Bagaimana sikap kita jika perpecahan itu benar-benar terjadi?
Harus kita jauhi (orang-orang yang berselisih itu). Karena perpecahan meninggalkan prinsip kebenaran. Orang yang berada dalam prinsip kebenaran, yakni mereka yang memiliki keikhlasan, kepahaman, keistiqamahan dan aksi yang jelas dalam menegakkan dienul Islam, tidak akan terpecah.
Bagi Allah, sangat mudah menyatukan manusia. Namun, Dia memang membuat manusia selalu berselisih. Sesungguhnya perselesihan itu terjadi antara yang hak dan yang batil. Sedang yang batil itu sifatnya tafawut (berbeda-beda). Artinya, sama-sama berjuang demi Islam, namun karena ada yang kurang ikhlas, seperti ingin berkuasa dan tidak senang melihat kawannya maju, maka terjadilah perselisihan itu.
Bagaimana kita meyakini bahwa di tubuh kaum Muslim banyak terdapat orang-orang mukhlisin?
Prinsipnya kita harus ber-khusnudhan (berbaik sangka) bahwa dalam diri kaum Muslim banyak orang yang ikhlas, namun mereka belum dikenal. Mereka ini pasti bisa bersatu. Kalau tidak bisa bersatu, berarti kepahamannya atau keihlasannya kurang.
Karena kebenaran Islam itu akan menyatukan sebagaimana disebutkan dalam Surat Al Anfal ayat 63 yang kira-kira artinya berbunyi, ”Allah-lah yang memadukan hati–hati manusia, bukan manusia itu sendiri. Manusia tak akan sanggup memadukan hati mereka sekalipun mereka menginfakkan hartanya.”
Jadi jelas bahwa Allah akan menyatukan hati-hati kita jika kita sama-sama melihat bahwa dienul Islam itu harus ditolong. Dan kita tidak akan bisa menolong Islam jika tidak melibatkan orang lain. Di sinilah orang-orang yang memang ikhlas menolong dienul Islam akan bersatu. Tapi persatuan antara orang muhlis dan munafiq tidak akan pernah terjadi.
Menurut Anda, apa penyebab utama perpecahan di kalangan Muslim?
Ada beberapa sebab. Antara lain, pertama, ketidaksamaan pemahaman. Ketika pemahaman tidak utuh, akan timbul perpecahan. Ketika kaum Muslimin lupa dengan sebagian perintah Al-Qur’an dan lupa terhadap keutuhan Islam, maka mereka menjadi bodoh terhadap beberapa prinsip. Kebodohan itu menjadikan orang memusuhi apa yang tidak mereka ketahui.
Ketika kaum Muslim meninggalkan prinsip Islam maka akan selalu ada pengkhianatan. Misalnya, sesorang lupa terhadap tabayun (melakukan pengecekan) maka akan ada orang lain yang tidak bersalah akan tersakiti. Itulah namanya bodoh. Kebodohan bisa membuat orang membenci apa yang tidak mereka ketahui dan menjadi musuh apa yang tidak mereka ketahui.
Kedua, karena tidak ikhlas. Rasa tidak ikhlas disebabkan hawa nafsu, kekuasaaan, popularitas, kesombongan intelektual, dan lain-lain. Karena itu Nabi memerintahkan kita menjauhi sifat-sifat seperti itu.
Ketiga, karena konspirasi dari luar. Ini sebetulnya mudah diselesaikan kalau kita berilmu, ikhlas, tabayun, dan tawakal kepada Allah.
Kita memang akan menghadapi ujian dari Allah, yakni perseteruan di antara kita. Sekarang tugas kita adalah bagaimana menyatukannya. Pada zaman Nabi pun sering terjadi fitnah yang besar. Kalau bukan kepercayaan yang kuat para sahabat kepada beliau, maka hancurlah kaum Muslim.
Orang-orang munafik sengaja menyusup dan menghasut para sahabat sehingga ada yang terpengaruh. Tapi, semuanya bisa diselesaikan oleh Rasulullah SAW dengan merujuk kepada dua referensi kaum Muslim, yaitu al-Qur`an dan Hadits.
Mengapa sekarang kita tidak bisa seperti itu?
Karena kedewasaaan kita belum ada. Kita kerap merasa diri paling benar dan paling besar. Kita sering mengajak orang lain agar memiliki pemahaman yang sama dengan diri kita. Padahal itu artinya memaksakan kehendak kepada orang lain.
Pernah saya diundang dalam sebuah diskusi yang membahas tentang solusi mencari titik temu harakah Islamiyah. Waktu itu saya tidak mewakili siapa-siapa, tapi mewakili akademisi dan syar’iyin.
Dalam forum tersebut ada pembicara yang mengatakan bahwa Islam kita berbeda-beda sesuai dengan pendapat masing-masing. Itu aneh. Mestinya hal itu tidak diungkap.
Jadi, indikasi dari apa itu?
Menurut saya, kedewasaan di antara tokoh kita belum tercapai. Sikap ikhlas masih perlu terus dipupuk di antara kita. Mestinya kita menyibukkan diri pada hal-hal yang sifatnya muhkamat dan qat’iyah fiddin. Namun faktanya banyak di antara kita yang belum menyibukkan diri dalam hal ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar